Sabtu, 24 November 2012

Ikan Tuna Sirip Biru (Thunnus thynnus)

Tuna memiliki bentuk tubuh yang sedikit banyak mirip dengan torpedo, disebut fusiform, sedikit memipih di sisisisinya dan dengan moncong meruncing. Sirip punggung (dorsal) dua berkas, sirip punggung pertama berukuran relatif kecil dan terpisah dari sirip punggung kedua. Di belakang sirip punggung dan sirip dubur (anal) terdapat sederetan sirip-sirip kecil tambahan yang disebut finlet. Sirip ekor bercabang dalam (bercagak) dengan jarijari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Di kedua sisi batang ekor masing-masing terdapat dua lunas samping berukuran kecil; yang pada beberapa spesiesnya mengapit satu lunas samping yang lebih besar. Tubuh kebanyakan dengan wilayah barut badan (corselet), yakni bagian di belakang kepala dan di sekitar sirip dada yang ditutupi oleh sisiksisik yang tebal dan agak besar. Bagian tubuh sisanya bersisik kecil atau tanpa sisik. Tulang-tulang belakang (vertebrae) antara 31–66 buah. 
Salah satu hasil sumber kekayaan alam Indonesia
Tuna sirip biru Atlantik adalah salah satu yang terbesar, tercepat, dan berwarna paling cantik dari semua jenis ikan di dunia. Berbentuk torpedo, tubuh ramping yang dibangun untuk kecepatan dan daya tahan. Mereka berwarna biru logam di bagian atas dan berkilauan putih keperakan di bagian bawah yang membantu menyamarkan mereka dari atas dan bawah. Dan nafsu rakus dengan variasi makanan membuat ukuran mereka memiliki panjang rata-rata 6,5 kaki (2 meter) dan berat 550 pon (250 kilogram).
Tuna sirip biru bisa mencapai ukuran besar karena memangsa terus-menerus ikanikan kecil, udang-udangan, cumi, dan belut. Mereka juga memakan zooplankton dan organisme kecil lainnya, bahkan memakan hewanhewan laut lainnya. Rentang hidup rata-rata di alam bebas mencapai 15 tahun.
Ikan tuna atlantik bersirip biru adalah binatang berdarah panas, suatu sifat yang langka di antara jenis ikan, dan mereka merasa nyaman hidup di perairan dingin di Newfoundland dan Islandia, serta perairan tropis di Teluk Meksiko dan Laut Mediterania, dimana mereka pergi setiap tahun untuk bertelur. Mereka adalah ikan yang paling ambisius dalam bermigrasi, dan beberapa spesimen mengatakan mereka berenang dari Amerika Utara ke perairan Eropa beberapa kali dalam setahun.
Pemilik restoran di Jepang, saat memotong ikan tuna sirip
biru raksasa yang ia beli
Mereka dihargai dalam kecepatan berenang, menerobos ke dalam air dengan sangat kuat karena dilengkapi ekor berbentuk bulan sabit yang mampu mendayung dengan kecepatan hingga 43 mil (70 kilometer) per jam. Mereka dapat menarik kembali sirip punggung dan dada mereka untuk mengurangi tekanan air. Beberapa ilmuwan menduga rangkaian “finlets” di ekor mereka mungkin berfungsi untuk mengurangi turbulensi air.
Tahukah anda? Tuna terbesar yang pernah tercatat adalah tuna sirip biru Atlantik yang tertangkap di Nova Scotia yang berbobot 593-lb (269 kg) dijual di pasar ikan Jepang dengan harga $ 736,000, dalam hitungan rupiah setara lebih dari 7 milyar, beratnya 679 kilogram. Sebuah rekor dunia.
Dengan semakin meningkatnya permintaan Jepang untuk membuat sushi segar dan meroketnya harga ikan tuna sirip biru di seluruh dunia, orang-orang pun akhirnya rela melakukan segala cara untuk menangkap ikan tuna tersebut, baik legal maupun ilegal.
Akibatnya, populasi tuna sirip biru terutama ikan besar telah menurun drastis, dan upaya konservasi internasional telah menyebabkan pembatasan untuk kebutuhan komersial. Namun demikian, paling tidak satu kelompok mengatakan penangkapan ikan ilegal di Eropa telah mendorong populasi tuna sirip biru Atlantik menuju ke jurang kepunahan.
Tuna sirip biru Atlantik di dunia kini terancam keberlangsungannya setelah upaya konservasi satwa dan fauna liar dalam konferensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) tak mampu melindungi melalui jalur regulasi baru-baru ini. Proposal tentang perlindungan terhadap beruang kutub, tuna sirip biru, terumbu karang, dan hiu tak ada yang memperoleh dukungan mayoritas pada konferensi CITES yang diselenggarakan di Doha, Qatar pada Maret 2010.
Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di wilayah Indonesia
CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar, merupakan suatu pakta perjanjian yang berlaku sejak Tahun 1975. CITES merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut.
Sebagaimana diketahui Jepang adalah konsumen terbesar tuna di dunia yaitu sekitar 80 persen. Jepang mengolah tuna menjadi sushi makanan eksklusif kaum kaya. Penjualan tuna untuk dijadikan sushi memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian Jepang. Tentunya kerugian yang besar akan dialami Jepang jika perdagangan tuna dibatasi. Oleh karena itu pantaslah jika Jepang menjadi negara penolak keras pengajuan proposal perlindungan tuna pada konferensi CITES.
Tuna sirip biru mengalami kemerosotan populasi yang cukup tajam pada 40 tahun terakhir ini. Penangkapan berlebihan oleh para nelayan tuna merupakan faktor terbesar semakin berkurangnya  populasi tuna di dunia. Harga jual yang mahal mendorong pengusaha tuna untuk terus melakukan aktivitas penangkapan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip konservasi.
Beberapa negara yang peduli terhadap kemerosotan populasi tuna sirip biru sadar bahwa tuna memerlukan waktu untuk memulihkan populasinya. Oleh karena itu langkah pengajuan proposal dalam konferensi CITES untuk melarang perdagangan tuna dalam bentuk apapun adalah langkah yang tepat dan harus dilakukan sekarang setelah beberapa upaya sosialisasi penangkapan tuna secara lestari tidak mampu mengurangi tingkat penangkapan tuna sirip biru. Jika langkah ini gagal, dikhawatirkan spesies tuna ini akan punah untuk selamanya.
Kepentingan ekonomi jangka pendek ternyata mampu mengalahkan upaya konservasi. Keberlangsungan alam yang pada hakikatnya mempunyai peran jangka panjang dikalahkan oleh kepentingan perut manusia yang hanya sesaat. Jika demikian adanya, alamlah yang akan menyelesaikan sendiri permasalahannya melalui berbagai bencana. Harapan kini hanya pada kita yang peduli. Siapa lagi kalau bukan kita! © Mirliyana

Cakrawala Edisi 412 Tahun 2012



1 komentar: