Selasa, 04 Desember 2012

JATUHNYA SANG ELANG PERMESTA

Allan Pope di ruang perawatan RI Sawega bersama seorang kopral kesehatan ALRI.
“Then I approached the ships at the high of 1.000 to 1.500 feet… When I got near by one of the ships I fired. After I fired, I immediately made a curve to the high and it was that moment when my fuel tank was hit. I flew the plane as fast as possible to the coast so that I could use my parachute…When I jumped from the plane, my foot stuck and I got injuries. I also saw my radio operator also jumped. I landed on the island of Amboina. I voluntarily surrender myself to the men who cought me on the island”.

Itulah sekelumit pengakuan Allan Lawrence Pope, pilot tempur berkewarganegaraan Amerika Serikat yang disewa oleh Permesta untuk menghadapi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan tertangkap, saat menjalani proses persidangannya di Jakarta awal Januari 1960. Keterlibatan Allan Pope dan sejumlah pilot asing untuk bergabung dengan Permesta tidak terlepas dari konflik antara pemerintah pusat dengan elit-elit di daerah yang melanda Indonesia pascaperang kemerdekaan 1945-1949. Konon, kehadiran pilot-pilot asing tersebut dikoordinasikan oleh dinas intelijen Amerika Serikat: Central Intelligence Agency (CIA) melalui salah satu perusahaan penerbangannya yang bernama Civil Air Transport (CAT). CIA membentuk CAT untuk mengamuflase kegiatan spionasenya di berbagai belahan dunia pada masa-masa awal perang dingin. Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang memperoleh perhatian serius dari pemerintah Amerika akibat menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kekhawatiran Indonesia akan jatuh ke tangan komunis kian menguat setelah hasil Pemilu Tahun 1955 menempatkan PKI menjadi salah satu dari lima partai besar yang memiliki pengaruh sosial politik dominan. Oleh sebab itulah, CIA berupaya keras untuk mencegah kemungkinan tersebut sebagai bagian dari strategi pembendungan komunisme di Asia Tenggara, bahkan tidak segan menempuh berbagai macam cara termasuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok pemberontak di Indonesia.

Piagam Perdjoeangan Semesta (Permesta)
Berkembangnya kelompok-kelompok separatis dan kekecewaan dari sebagian  mantan pejuang kemerdekaan, kemacetan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, serta instabilitas politik akibat gontaganti kabinet dan pertentangan di antara elit-elit politik merupakan permasalahan utama yang harus dihadapi pemerintah Indonesia pascapengakuan kedaulatan.
Dampak dari kondisi tersebut, terjadilah serangkaian reaksi ketidakpuasan yang berbuntut pada penentangan terhadap kebijakan pemerintah pusat dari beberapa daerah diantaranya adalah Sulawesi.
Puncak dari pertentangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah d i p r o k l a m a s i k a n n y a Piagam Perdjoeangan Semesta (Permesta) pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar oleh Panglima Teritorial dan Teritorium (TT) VII Letnan Kolonel Herman Nicolas Ventje Sumual. Piagam ini mencakup seluruh kawasan Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku, serta ditandatangani 51 tokoh masyarakat Indonesia bagian timur. Selanjutnya, Permesta melakukan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat pada tanggal 17 Februari 1958. Adapun langkah-langkah dibidang militer, Permesta membentuk angkatan perang sendiri, melakukan pengambilalihan instalasi-instalasi pemerintahan dan militer serta melancarkan serangan ke daerah-daerah dan kesatuan-kesatuan APRI yang menolak bergabung dengan Permesta.
            Setelah memperoleh berbagai keunggulan di Sulawesi, Permesta kemudian melancarkan serangan ke Morotai dengan sasaran utama lapangan terbang peninggalan Perang Dunia Kedua dan berhasil menguasainya. Tujuan Permesta menguasai Morotai yang dilanjutkan ke Jailolo adalah sebagai pangkalan terdepan untuk melancarkan serangan udara ke obyek-obyek strategis di Jawa. Kondisi tersebut dikarenakan sebagian unsur-unsur APRI di wilayah timur tengah dikerahkan ke Sumatera untuk memadamkan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Ketiadaan unsur tempur udara AURI di wilayah timur memberi keuntungan strategis bagi Permesta. Setelah  berhasil mengalahkan PRRI, APRI dapat memfokuskan perhatiannya ke wilayah Sulawesi dan Maluku sekaligus menaklukkan Permesta.

Operasi Merdeka
RI Pulau Rusa (PR-210) tampak dari anjungan RI Sawega.

Setelah upaya diplomatis dan persuasif dari pemerintah pusat untuk meredam gejolak tersebut menemui jalan buntu dan adanya pernyataan pimpinan Permesta yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia timur dalam keadaan bahaya, akhirnya dikirimlah unsur-unsur APRI ke Sulawesi guna memadamkan pemberontakan dan mengembalikan kewibawaan pemerintah di sana.
Untuk menundukkan Permesta, APRI menggelar operasi militer gabungan dengan sandi Operasi Merdeka. Operasi ini dipimpin oleh Letkol Inf. Roekminto Hendraningrat, lalu sebagai Wakil Komandan I Letkol KKo H.H.W. Huhnholz dan Wakil Komandan II Mayor Udara Leo Wattimena. Kemudian Operasi Merdeka yang digelar APRI terdiri atas beberapa operasi militer, yaitu Operasi Sapta Marga I, Sapta Marga II, Sapta Marga III, Sapta Marga IV, Mena I dan Mena II. Meskipun dalam gelar Operasi Merdeka, APRI telah mengerahkan kekuatan gabungan (AD, AL, AU dan Polri), namun untuk menaklukkan kekuatan militer Permesta bukanlah perkara mudah. Permesta telah mengonsolidasi kesatuan-kesatuan tentara dan polisi yang ada di wilayahnya, lalu memobilisasi para mantan prajurit AD Hindia Belanda: KNIL dan masyarakat umum yang memenuhi persyaratan sebagai tentara. Selain itu, Permesta juga menjalin kontak diplomatik dengan pihak asing, sehingga berhasil memperoleh bantuan militer seperti pesawat tempur, persenjataan dan personel militer asing. CIA ditengarai berada di balik pemberian bantuan militer asing kepada Permesta.
        Berkat bantuan tersebut, sayap udara Permesta yaitu AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) memiliki skuadron udara yang cukup tangguh dan disegani, karena diperkuat sejumlah pesawat pemburu North American P-51 Mustang dan pembom menengah Douglas B-26 Invader serta diawaki pilot-pilot asing yang berpengalaman, diantaranya Allan L. Pope, Connie Sigfriest, Cecil Cartwright dan Tony Moreno. Konon, mereka dibayar US $10.000 sebulan oleh Permesta. Pembom B-26 Invader AUREV telah dimodifikasi laras mitraliurnya yaitu semula enam laras menjadi delapan laras. Kepala Staf AUREV dijabat oleh Komodor Udara Petit Moeharto dan sebagai Komandan Skuadron Pemburu adalah Kapten Udara Hadi Soepandi. Tak sia-sia Permesta menyewa para soldiers of fortune tersebut. Terbukti sebagai “Elang Dirgantara” AUREV, B-26 yang dikemudikan Allan Pope berhasil menenggelamkan salah satu korvet ALRI yaitu RI Hang Toeah di perairan Balikpapan pada tanggal 28 April 1958. Akibatnya, setelah terbakar hebat, RI Hang Toeah tenggelam dengan korban empat belas pelaut hilang, empat gugur, dan puluhan terluka.

Serangan Udara B-26 Allan Pope
Peristiwa tragis yang menimpa RI Hang Toeah menjadi pelajaran yang berharga bagi Letkol KKo H.H.W. Huhnholz saat memimpin Amphibious Task Group-21 (ATG-21) APRI dalam rangka gelar Operasi Mena II untuk merebut Morotai dari Permesta. ATG-21 terdiri atas unsur-unsur KKo ALRI, ADRI dan Mobile Brigade Polisi, kapal angkut pasukan sekaligus kapal komando: RI Sawega, lalu kapal angkut RI Baumasepe, kapal-kapal penyapu ranjau kelas Raum yakni RI Pulau Raas (PR-203), RI Pulau Rinja (PR-207), RI Pulau Rempang (PR-208), RI Pulau Rengat (PR-209), dan RI Pulau Rusa (PR-210). Sebagai langkah antisipatif, Letkol Huhnholz memerintahkan anggotanya untuk memasang sebanyak mungkin senjata berat di atas kapal-kapal ALRI, seperti mitraliur berat kaliber 12,7 mm dan meriam Bofors 40 mm. Kemudian pasukan juga diperintahkan berlatih keras menghadapi latihan peran bahaya serangan udara, kebakaran, dan evakuasi. Saat berlatih bahaya serangan udara, peluru anti pesawat sesungguhnya dipergunakan.
Letkol Kko H.H.W. Huhnholz, Komandan ATG-21.
 Kemudian untuk menjaga kerahasiaan pergerakan, ATG-21 menggerakkan unsur-unsurnya dari Surabaya ke Ambon tidak secara bersamaan dan dilaksanakan pada malam hari. Namun mengingat Ambon sering mendapat serangan udara AUREV, maka saat siang kapal-kapal ATG-21 diperintahkan bergerak ke laut lepas dan kembali ke pelabuhan malamnya. Pada tanggal 17 Mei 1958 pukul 22.00 di atas RI Sawega, Letkol Huhnholz, Letkol Herman Pieters dan Mayor Leo Wattimena mengadakan koordinasi terakhir dan memutuskan hari “H” ke Morotai dilaksanakan pada tanggal 20 Mei pukul 5.30. Pada tanggal 18 Mei pukul 4.00 unsur-unsur ATG-21 mulai bergerak meninggalkan pelabuhan Ambon menuju Morotai. Sepanjang perjalanan, seluruh unsur secara simultan melaksanakan latihan peran bahaya serangan udara. Sejalan dengan itu, dilakukan formasi melingkar dengan posisi RI Sawega dan RI Baumasepe berada di tengah dalam posisi berbanjar. Sementara itu kapal-kapal penyapu ranjau berfungsi sebagai kapal tabir.
Apa yang dikhawatirkan oleh Letkol Huhnholz, Komandan ATG-21, terbukti benar. Pada pukul 06.20 saat konvoi ATG-21 mendekati perairan Pulau Nusa Telu, usai berlatih peran bahaya serangan udara, tiba-tiba petugas pengawas melaporkan ada pesawat tak dikenal melintas dari arah Tanjung Barat dan Teluk Ambon menuju konvoi. Setelah memastikan itu adalah pesawat B-26 musuh, dibunyikanlah sirene tanda bahaya. ATG-21 dapat memastikan bahwa pesawat tersebut milik musuh berkat ciri khas yang dimiliki pesawat-pesawat Permesta yaitu warna hitam pekat pada bagian bawahnya dengan inisial “AUREV” berwana putih. Kemudian ketika B-26 melejit naik membentuk sudut 45° serempak s e m u a senjata yang terpasang di atas kapal-kapal A T G - 2 1 menyalak. Dari arah laju pesawat d i k e t a h u I  b a h w a  s a s a r a n utamanya adalah RI Sawega. Adapun alasan Pope mengincar RI Sawega, karena ia melihat di kapal tersebut tampak penuh pasukan dan kendaraan amfibi, sehingga dapat dipastikan sebagai kapal induk pasukan APRI yang akan menyerbu Morotai.
Sementara itu RI Sawega yang menyadari menjadi sasaran, melakukan manuver cikar kiri bertepatan jatuhnya sebuah bom yang meledak 100 meter di lambung kirinya. Namun malang bagi sang “Elang Permesta”, saat membumbung naik, ATG-21 berhasil menembaknya sehingga bagian ekornya terbakar akibat tanki bahan bakarnya kena tembakan. B-26 berusaha melarikan diri namun terus dikejar
konvoi ATG-21. Pada ketinggian 6.000 kaki, tampak dua awak B-26 meloncat keluar. Selanjutnya RI Pulau Rengat diperintahkan untuk menangkap kedua awak B-26 yang mendarat di Pulau Hatala. Akhirnya, pilot sewaan AUREV Allan L. Pope dan operator radionya Letnan Udara (AUREV) Jan Harry Rantung berhasil ditangkap. Saat ditangkap, kaki Allan Pope terluka akibat terbentur badan pesawat ketika meloncat keluar.
Tertangkapnya Allan Pope segera dilaporkan ke Jakarta dan berhasil membuka kedok keterlibatan CIA dalam Permesta. Identitas Pope terungkap setelah di saku bajunya diketemukan sejumlah kartu identitas dan dokumen. Terungkapnya jati diri Allan Pope segera menimbulkan kegemparan di Amerika dan masyarakat internasional. Dampak lanjutannya, pemerintah Amerika memutuskan untuk menarik seluruh operasinya dari Indonesia dan membangun kontak diplomatik untuk membebaskan Allan Pope. Selanjutnya berdasarkan hasil Pengadilan Tentara di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1959 Allan Pope dijatuhi hukuman mati dan J. H. Rantung dihukum 15 tahun penjara. Namun berkat pendekatan diplomatis dari Presiden Amerika, John F. Kennedy, kepada Presiden Soekarno akhirnya Allan Pope pada bulan Februari 1962 dibebaskan dan “diboyong” kembali ke negaranya.

Sebuah Konklusi
Meletusnya pemberontakan Permesta di wilayah Indonesia bagian timur merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistis sehingga terjadi ketimpangan antara pusat dan daerah. Di sisi lain harus diakui, pemerintah saat itu menghadapi dilema serius. Merosotnya kondisi sosial ekonomi dan keamanan yang labil pascapengakuan kedaulatan menjadi beban mahaberat bagi pemerintah. Situasi tersebut diperparah dengan ketidakstabilan di bidang politik. Ketegangan antara pusat dengan daerah kian lama kian memanas dan akhirnya berujung pada tindakan separatis. Pemerintah pusat kemudian menanggapi pemberontakan Permesta dengan mengirim satuan tugas gabungan APRI yang tergabung dalam Operasi Merdeka.
Sikap tegas pemerintah pusat tersebut terpaksa diambil setelah mempertimbangkan agresivitas Permesta yang menggunakan kekuatan militer untuk menguasai Indonesia bagian timur dan adanya indikasi keterlibatan pihak asing. Tertangkapnya Allan Pope, pilot pesawat pembom B-26 Invader AUREV yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, menjadi bukti kuat bahwa kekuatan asing mencoba memanfaatkan kekisruhan yang terjadi di Indonesia untuk kepentingan mereka. 
Allan Pope saat persidangan di Jakarta tanggal 28 Desember 1959
Sementara itu, bagi TNI Angkatan Laut peristiwa serangan udara tanggal 18 Mei 1958 memberikan hikmah tersendiri. Di satu sisi, serangan udara merupakan jenis ancaman yang sulit diprediksi arah, pola dan taktik serangannya, karena sifatnya yang dinamis menyesuaikan kondisi di lapangan. Jika, sebuah kapal perang mengabaikan faktor tersebut, dapat dipastikan akan menjadi “mangsa empuk” bagi pesawat penyerang. Ketidaksiapan personel dan senjata, serta system deteksi dini yang lemah menjadi penyebab tenggelamnya RI Hang Toeah saat diserang oleh B-26 Allan Pope di Balikpapan tanggal 28 April 1958. Sementara di sisi lain, peristiwa ini merupakan ujian bagi ATG-21 akan kemampuan dan kesiapannya menghadapi bahaya serangan udara. Letkol KKo H.H.W. Huhnholz sebagai Komandan ATG-21 dan perwira yang berpengalaman serta kenyang “asam garam” peperangan, sangat menaruh perhatian terhadap kemampuan AUREV sehingga memutuskan untuk menambah persenjataan anti pesawat di kapal-kapal ATG-21 dan secara simultan melaksanakan latihan peran bahaya serangan udara serta berbagai formasi maneuver kapal. Peristiwa tertembak jatuhnya pesawat pembom menengah B-26B dengan nomor 44-35221 milik AUREV yang diawaki Allan Pope merupakan bukti kemampuan ATG-21 dalam menghadapi bahaya serangan udara.© Adi Patrianto S.
Sugeng Sudarto, B.A., et al, Patahnya Sayap Permesta, Disjarahal, Jakarta, 1982, hal. 65. Mengutip dari Harian Times of Indonesia, Jakarta, edisi 4 Januari 1960, hal. 2.
Sumber:
1. Sudarto, Sugeng, B.A., et al, Patahnya Sayap Permesta, Disjarahal, Jakarta, 1982.
2. Sudarto, Sugeng, B.A., TNI Angkatan Laut Dalam Operasi Merdeka, Disjarahal, Jakarta, 1981.
3. Sejarah, Sub Direktorat, Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut II Tahun 1950-1959, Direktorat Perawatan Personel TNI AL, Jakarta, 1987.
4. Salim, Drs. Makmun, Sedjarah Operasi-Operasi Gabungan Terhadap PRRI-Permesta, Pusat Sedjarah ABRI Dephankam, Jakarta, 1971.
5. TNI, Pusat Sejarah dan Tradisi, Sejarah TNI Jilid II (1950-1959), Mabes TNI, Jakarta, 2000.

2 komentar:

  1. Indonesia cinta damai makanya pemberontakan selalu gagal, komentar juga ya di blog saya www.goocap.com

    BalasHapus